Indahnya Kebersamaan dan Toleran dalam Perbedaan

5 tahun lalu, Aku menghadiri pertemuan diskusi antar agama di sebuah wisma katolik xaverian. Bagaimana acaranya, apa yang dibahas, dan seperti apa , aku kutip dari liputanislam.com sebagai berikut.

liputanIslam.com — Sore itu langit tampak cerah. Udara terasa cukup panas meski matahari sudah sedemikan condong ke barat. Jalanan pun tidak terlalu ramai, sehingga tidak butuh waktu lama untuk mencapai salah satu sudut kota Jakarta,  tepatnya di lokasi dialog “Sunni-Syiah- Khawarij” digelar, yang bertempat di Wisma Xaverian, Cempaka Putih.
Ada sekitar 50 orang untuk menghadiri dialog tersebut, dengan penampilan yang ‘sangat Indonesia’. Yang laki-laki sebagian besar mengenakan baju kemeja batik, dan ada juga yang berpeci hitam. Yang perempuan, ada yang berjilbab, ada pula yang tidak.
Komunitas Xaverian yang dipimpin oleh Romo Matteo Rebeci, dan Romo F. Marini, pendeta berkebangsaan Italia yang telah menetap di Indonesia—rutin mengadakan dialog agama dan budaya dalam bingkai kebangsaan setiap bulan, biasanya pada akhir pekan di minggu ketiga. Acara ini terbuka untuk umum, tidak dipungut biaya sepeserpun alias gratis.

Hadir sebagai pembicara dialog kali ini adalah Ustadz Farid Mas’udi, Ketua Dewan Pembina Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Wakil Ketua Umum Dewan Besar Masjid Indonesia. Sumbangsihnya kepada umat telah terabadikan dalam buku “Pajak itu Zakat’ yang diterbitkan oleh Mizan, dan Syarah UUD 1945 Perspektif Islam yang telah diterbitkan oleh Alvabet.
Ustadz Farid membawakan materi diskusi yaitu “Antara Sunni-Syiah-Khawarij (Wahabi)” yang diawali dengan menjelaskan asal-usul awal mula perpecahan pada tubuh Islam/ munculnya golongan-golongan pasca wafatnya Nabi Saw. Disampaikan, polemik siapa penerus Nabi Saw merupakan pemicu menjamurnya faksi-faksi Islam hingga hari ini.

Komunitas Xaverian yang menyelanggarakan dialog
Dalam internal umat Islam, menurut Ustadz Farid, terdapat tiga pola keberagaman dalam mengamalkan ajaran Islam. Pertama, pola keberagaman yang bertumpu pada teks, yang bisa didapati dalam tradisi Wahabi/ Khawarij. Kedua, pola keberagaman yang lebih bertumpu pada figur yang dipraktekkan oleh Syiah, dan kelompok ketiga yang mencoba untuk berada di jalan tengah antara kedua golongan di atas. Selain itu, disebutkan pula Ahmadiyah, yang bertumpu pada figur sebagaimana Syiah, namun di sini figur yang mereka jadikan pedoman adalah sosok yang berbeda. Syiah meneladani Sayyidina Ali ra, sedangkan Ahmadiyah meneladani Mirza Ghulam Ahmad.

Dialog Sehat

Pendapat Ustadz Farid ini disanggah oleh peserta Ahmadiyah dan juga muslim Syiah saat sesi tanya jawab. Baik Ahmadiyah, maupun Syiah, menolak jika dikatakan ‘bertumpu pada sosok’. Ustadz Farid menanggapi dengan tenang, dan diskusi berjalan tanpa ada kemarahan. Masing-masing mau mendengar argumen satu sama lain.
Di bagian lain, ketika Ustadz Farid menjelaskan masalah toleransi beragama menurut ajaran Islam, para hadirin yang beragama Nasrani pun memberikan sambutan yang sangat positif. Mereka menyampaikan apresiasi, dan menyatakan senang karena mengetahui masih banyak umat Islam yang toleran dan berpikiran terbuka menyikapi perbedaan. Hal ini tentu saja sangat dimaklumi, karena akhir-akhir ini isu SARA kembali memanas di Indonesia, menyusul beberapa tindakan anarkis yang ditujukan kepada pemeluk agama Nasrani, seperti  bom hingga pembongkaran rumah ibadah mereka.

Agama Sebagai Sumber Konflik?
Acara berjalan lancar dengan Ustadz Farid sebagai narasumber
Ustadz Farid menegaskan, tidak ada konflik yang paling berdarah-darah yang terjadi di dunia ini selain konflik yang berjubah/ mengatasnamakan agama. Padahal di lain sisi, tidak ada persahabatan yang lebih erat dan tulus dibandingkan dengan persahabatan yang terjalin antara orang-orang yang beriman. Artinya, untuk seluruh umat beragama, apapun agamanya, janganlah lelah untuk menyadarkan diri sendiri bahwa agama memang suci adanya seperti yang tertuang dalam lembaran kitab suci, namun kita sebagai manusia memiliki keberagaman akal dan hati.
Dalam kitab suci al-Qur’an pun telah diserukan bahwa kepada sesama manusia yang berlainan agama, sikap kita adalah sesuai dengan surat al-Kafiruun ayat 6, ”Bagimu agamamu, bagiku agamaku.”
Toleransi yang dibangun bukan saja antar umat beragama, namun juga toleransi di dalam agama Islam  yang telah  terbagi menjadi mazhab-mazhab/ aliran. Untuk hal ini, menurut Ustadz Farid kita harus berpegang pada firman Allah yaitu “…Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak perlu ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah kelak akan menghimpun  (dan membalas secara adil setiap amal dan perbuatan kita dihari kemudian) kita dan kepada-Nyalah kita akan  kembali.” (Asy-Syura: 15).

Keberagaman di Indonesia dan Suriah

Lebih lanjut, Ustadz Farid menjelaskan bahwa Indonesia bukanlan negara agama. Negeri ini adalah bumi Allah yang diciptakan untuk semua umat manusia, apapun agamanya. Sungguh tidak patut jika negeri yang majemuk ini dikapling-kapling berdasarkan agama, ataupun faktor-faktor sekterian yang lain. Di hadapan-Nya, semua manusia adalah sama. Semuanya berhak menginjak bumi-Nya, mereguk air-Nya, ataupun menghirup udara-Nya. Keyakinan yang berbeda merupakan sebuah keniscayaan, dan dikembalikan lagi kepada pribadi masing-masing. Hal itu adalah mutlak urusan dengan manusia dengan Pencipta-nya, yang akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Namun kita sebagai khalifah  di bumi Allah, kewajiban kita adalah berbuat baik, beramal shaleh untuk diri sendiri dan sesama.
Presiden, Grand Mufti Suriah berfoto bersama pendeta dari Kristen Orthodox. Sumber foto: facebook
Tausiyah yang disampaikan Ustadz Farid ini sangat penting bagi kita bangsa Indonesia. Berkaca pada tragedi yang kini menimpa Suriah, bangsa Indonesia perlu sangat waspada atas potensi perpecahan dan upaya adu domba dengan menggunakan isu agama. Jauh sebelum perang meletus, Suriah adalah negeri yang indah dan damai, bebas hutang luar negeri, dan hidup mandiri. Penduduknya yang beragam agama dan mazhab hidup nyaman dan tentram. Kadang bahkan mereka tidak mengetahui agama dari tetangga mereka sendiri karena pola hubungan yang toleran dan tidak memandang apa agama dan mazhab orang lain.
Namun kini, perang telah berkecamuk di sana selama tiga tahun, sudah 130.000 korban jiwa, jutaan rakyat mengungsi  dan negara tersebut hancur total. Yang menyedihkan, mereka yang menghancurkan Suriah adalah orang-orang muslim dari berbagai penjuru dunia. Mereka berbondong-bondong menyerbu Suriah, mengaku sedang berjihad untuk melawan rezim Syiah Bashar Assad. Perang menjadi sangat barbar, karena para “mujahidin” dimotivasi oleh kebencian antarmazhab yang tidak rasional, menolak negosiasi dan dialog, serta mengabaikan fakta-fakta bahwa hampir 80% rakyat Suriah adalah penganut Ahlusunnah Wal Jama’ah, mayoritas militer Suriah adalah Sunni, dan bahkan rezim Assad pun sesungguhnya rezim berhaluan sosialis, bukan relijius/mazhab.

Diskusi ditutup dengan makan malam bersama
Kehadiran Ustadz Farid di sebuah komunitas Gereja, dengan membawa nama NU dan pesan-pesan perdamaian Islam, semakin menunjukkan jati diri NU yang moderat dan toleran. Inilah Islam khas Indonesia yang paling mampu mengawal keberagaman di negeri ini.
Diskusi pun terus berlanjut dengan akrab dan penuh kekeluargaan. Sampai di akhir diskusi, dikemukakan bahwa kaum muslim dan Nasrani sama-sama meyakini akan datangnya juru selamat, yang menurut nash adalah Imam Mahdi afs yang didampingin oleh Nabi Isa as.
Waktu beranjak semakin malam. Di luar, bintang gemintang berkelap-kelip. Menjadi saksi bisu bahwa di sebuah tempat kecil di Indonesia telah lahir orang-orang dan komunitas yang saling mencintai dan menghargai di dalam perbedaan. (sz/ba/dw/LiputanIslam.com)

***
Begitulah, saat makan malam, aku berdiri terdiam agak ragu makanan apa yang disajikan? pasalnya aku ini bukan pemakan segala, disamping soal halal haram tentunya.

Kemudian seorang frater mendekati,"Silahkan... silahkan dimakan. Tenang saja semua halal. Kami disini semua vegan, tapi berhubung menjamu tamu, kami sediakan juga ayam kok."

Seorang kawan menimpali,"Frater, karina ini seorang vegan juga."

"oh hahaha.."ekspresinya seperti sedang loading, mungkin berpikir aku ini dari mazhab apa. Dan sejak itu sang frater memperhatikanku terus.

Kebetulan lagi, ia duduk tepat didepanku saat berdoa sebelum makan dimulai. Temanku yang tadi duduk tepat disampingnya, menepuk bahunya dan menjelaskan padanya tentang diriku sambil berkelakar," Frater, ini namanya karina. Dia berdarah ibrani. Harusnya dia dapat warisan tanah di israel. hahahhaa" Kami tertawa.

Kemudian kami juga melanjutkan diskusi ringan. Tak terasa hari semakin larut, kami memutuskan pulang. Hari yang cukup berkesan, dan kuingat sampai hari ini.

Love,

Karina Arba

Komentar

Postingan Populer