Dari keluarga hingga kepada Ma'ruf Amin dan Prabowo
Suara mama dan bapak diskusi terdengar cukup riuh ,bercampur suara presenter TV yang membacakan hasil poling cepat pemilu kemarin.
Biasanya setiap pagi acara yang mereka tonton jawapos, yah atau politik memang. Walaupun acara favorit mama kala siang Indosiar selalu,dan biarpun tidak duduk dibangku sekolah tinggi. Ku akui mereka diam-diam memiliki sisi intelektual, apalagi bapak, beliau buta huruf karena latar belakangnya yang berasal dari pulau terpencil dan terbelakang di sulawesi sana. Tapi kemampuan menalar informasi dan menganalisisnya luar biasa untuk ukuran yang tidak pernah membaca buku. Bahkan hasil kepribadian MBTI nya adalah INTJ. Kepribadian yang biasanya memiliki intelektual tinggi.
Kepribadiannya dilengkapi dengan sosok mama, seorang idealist INFP. Pasangan yang sempurnya, seorang realist bertemu dengan seorang idealist, dan memiliki anak dari perpaduan keduanya, INTP. Semasa muda, mama adalah pecinta buku. Yang ku tahu, Almarhumah nenek atau ibunya mama adalah seorang bookish, sedari lahir aku dibesarkan beliau. Pernah tidur di dalam perpustakaan? kira-kira begitu aroma setiap bangun pagi dan malam sebelum tidur kami dirumah.
Jadi mungkin hobi baca adalah wabah dari kakek nenek kami terdahulu. Tapi Nenek gak suka melihatku mendapat nilai terlalu sempurna.
Pernah sewaktu ketika saat aku masih sekolah dasar. Aku pulang dengan perasaan saangat bahagia karena mendapat hasil ujian nyaris sempurna dari pelajaran yang paling susah.
Nenek cuma tersenyum dan bilang, " Tetap dinomor 4 dan terus belajar sejarah."
"Es krimnya mana? ahahahha" Jawabku singkat.
Tapi walaupun aku tidak bertanya mengapa dan tidak membahasnya sama sekali, bukan berarti aku tidak pernah memikirkannya. Nenek sebenarnya mendidik kami cucu-cucunya untuk selalu berpikir bukan menghafal.
Jadi singkat cerita, peringkat 1,2,3 bukanlah yang utama untuk ku raih, sekalipun aku yakin aku mampu meraih peringkat itu.
Namun berbeda dengan kakak dan sepupu yang lain, mereka diharuskan bertahan di 1-3. Belum lagi mereka yang merasa nenek kami pilih kasih. Mereka diwajibkan hafalan setiap malam, sedangkan aku tidak. Sebagai puncak kekesalan mereka, aku dianggap anak paling bodoh digenerasi ini.
Nenek kami melihat bagaimana cucunya ini diperlakukan. Suatu malam, nenek bercerita padaku tentang Nabi Daud dan Sulaiman as, tentang si tukang kebun dan pengembala domba. Sebelum bercerita nenek bertanya apa kira-kira ide Nabi Sulaiman yang diberikan kepada ayahnya untuk menyelesaikan masalah tersebut?
Inti dari pertanyaan nenek bukan tentang apakah aku mampu menjawab atau tidak. Tapi bagaima caraku berpikir.
Kemudian nenek bilang, Adil itu bukan sama rata, Tapi sesuai kebutuhan dan porsi masing-masing. Kakak-kakakmu pandai menghafal dan dari sana mereka mampu memahami kinerja sesuatu, berbeda dengan kamu. Kamu cerdas dengan caramu sendiri.
Kemudian Nenek melanjutkan kisah tentang keturunan-keturunan bani israil. Bagaimana mereka menghancurkan wasiat Ayah mereka, untuk menjaga kerajaan israil. Setelah Sulaiman wafat, kerajaan israil hancur. Mereka saling membunuh saudara mereka sendiri demi tahta.
"Apa arti keturunan sayang?" katanya lirih.
"Apa artinya kecerdasan tanpa pemahaman?" tambahnya lagi.
Nenek tidak pernah bicara secara detil maksud dari kata-katanya. Begitu saja, memancing aku untuk terus bertanya dan bertanya.
Kata mama, Dulu sebelum aku lahir, nenek mengajar ngaji, bahasa arab kadang ibrani. Setelah ku lahir, nenek menghabiskan waktunya diantara buku-buku dan sejadahnya saja, karena faktor lanjut usia. Meskipun kacamatanya menurutku sudah tak layak pakai, masih saja dipakai menemaninya membaca. Kadang aku berbisik pada mama, apa iya nenek masih bisa membaca? Mama menjawab singkat, " Nenek hafal kok!"
"Hah?" Aku tercengang. Selain pintar memasak, menjahit, memahami politik, nenekku ini perempuan kuat. Hidup tanpa suami dan membesarkan ke lima anaknya seorang diri. Sosok yang menjadi panutanku. selalu.
Disisi lain aku memiliki Mbah, Beliau seorang nasrani. Saat liburan kami mengunjunginya di pelosok jawa sana. Waktu itu aku masih 4 SD. Disetiap ruangan terpaku salib. Mbah seorang Nasrani yang relijus, jika berkata suaranya lembut kemayu, cocok menjadi seorang pendongeng. Mbah seorang yang baik dan perhatian, agak berbeda dengan nenek yang tegas. Disana tinggal juga sepupuku, dia yang paling banyak bercerita tentang yesus. Aku diperkenalkan sahabatnya yang sekaligus tetangganya. Selepas diperkenalkan, ia yang waktu itu masih anak-anak juga memelukku dan berkata,
"Asikkk,, ada orang muslim juga. Kita bisa sholat bareng! Kamu tau gak yang tinggal disini semuanya kristen, keluarga aku doang yang muslim."
Aku tersenyum, ini hal baru bagiku. Membuatku berpikir siapa Tuhan yang sebenarnya? Pantas gak sih anak 4SD berpikir seperti ini?
Tapi inilah keluarga kami. Aku simpan perihal siapa Tuhan untuk sementara, aku masih kecil. Walaupun aku selalu memikirkannya. selalu.
Kembali ke masa kini, ke huru-haru didepan TV tadi pagi. Mama nampak senang dengan hasil polling sementara yang dimenangkan jokowi-maruf. Sedangkan bapak, dengan analitisnya yang tinggi agak meragukan. Kami sekeluarga memilih paslon 01 itu.
Kemudian bapak berangkat kerja, dan aku keluar kamar. Berita berganti tentang Maruf yang melakukan pencoblosan di daerah Koja, Jakarta Utara. Sungguh, aku baru tau dia adalah orang sekitar sini, sekitar rumah kami. Kemudian mama nyeletuk,
"Lah, lu gimana masa gak tau? Dia itu dulu murid abah Unus."
Aku mengingat, "Abah Unus? siapalagi?"
"Astagafirullah, ama kakek sendiri u ga kenal! Kakek lu yang itu tuh, suaminya adiknya nenek lu. Abah Unus itu ulama diseganin dijamannya. Lu inget kagak waktu tante lu cerita kalau dia pernah didatengin abah Unus waktu jadi penyanyi di nikahan orang sambil bawa tombak karena ga suka liat anak perempuan satu-satunya pakai pakaian seronok begitu?"
Aku tertawa sambil membayangkan, dan masih tercengang. Perasaan jadi campur aduk seketika, merasa berdosa telah menjadi cucu yang bejat. Kasihan sekali kakek nenek kami, nasabnya jadi hancur memiliki keturunan seperti kami.
Tapi sekarang tanteku berubah menjadi perempuan hebat. Memiliki suami yang cerdas. Walaupun suaminya tersebut sudah meninggal, dan ketika beliau hidup , aku masih sangat kecil. Aku memanggil mereka berdua mama dan papi. Papi lutfi, begitu aku memanggil om ku itu. Beliau seorang pengusaha sukses, meninggalkan harta untuk anak istrinya, tapi yang lebih berbekas menurutku adalah apa yang ia tinggalkan dilemari buku pribadi miliknya.
Aku melihat beliau memiliki banyak koleksi kitab islam, dari berbagai mahzab! Juga ada kitab-kitab perjanjian lama dan baru bahkan salinan dari kitab apokrifa. Beruntung sekali sepupuku, mewarisi kitab-kitab langka. Tapi aku tidak tahu pasti apa dia suka membaca. Buku-bukunya terlihat berdebu. Seandainya bisa ku bawa pulang. Mengingat aku sendiri harus mengelus dada setiap kali melihat buku bagus di toko, satu buku, harus puasa sepekan.
Yang menarik lagi dari tanteku, ia adalah salah seorang tim sukses Prabowo. Bahkan ia sering berkelakar bahwa yang mampu menggantikan papi lutfi sebagai suami hanyalah Prabowo seorang. Haha...
Seketika aku membayangkan menjadi keponakan Prabowo. ahahaha. Keluarga ini unik. Lahir dari keluarga seperti ini seperti anugerah sekaligus ujian.
Jujur, aku sendiri tak yakin dengan kemenangan Jokowi-Amin. Tapi siapapun yang jadi presiden, Jokowi tetap sosok yang memiliki nilai tersendiri di hatiku. Masih ingat derasnya hujan saat itu, pertama kalinya aku melihat Jokowi sebagai gubernur. Dan tidak ada rakyat disebelahnya. Kuperhatikan, kupastikan itu dia. Benar-benar tidak ada yang sadar itu dia.
Aku tersenyum, sudah sampai situ saja.
Biasanya setiap pagi acara yang mereka tonton jawapos, yah atau politik memang. Walaupun acara favorit mama kala siang Indosiar selalu,dan biarpun tidak duduk dibangku sekolah tinggi. Ku akui mereka diam-diam memiliki sisi intelektual, apalagi bapak, beliau buta huruf karena latar belakangnya yang berasal dari pulau terpencil dan terbelakang di sulawesi sana. Tapi kemampuan menalar informasi dan menganalisisnya luar biasa untuk ukuran yang tidak pernah membaca buku. Bahkan hasil kepribadian MBTI nya adalah INTJ. Kepribadian yang biasanya memiliki intelektual tinggi.
Kepribadiannya dilengkapi dengan sosok mama, seorang idealist INFP. Pasangan yang sempurnya, seorang realist bertemu dengan seorang idealist, dan memiliki anak dari perpaduan keduanya, INTP. Semasa muda, mama adalah pecinta buku. Yang ku tahu, Almarhumah nenek atau ibunya mama adalah seorang bookish, sedari lahir aku dibesarkan beliau. Pernah tidur di dalam perpustakaan? kira-kira begitu aroma setiap bangun pagi dan malam sebelum tidur kami dirumah.
Jadi mungkin hobi baca adalah wabah dari kakek nenek kami terdahulu. Tapi Nenek gak suka melihatku mendapat nilai terlalu sempurna.
Pernah sewaktu ketika saat aku masih sekolah dasar. Aku pulang dengan perasaan saangat bahagia karena mendapat hasil ujian nyaris sempurna dari pelajaran yang paling susah.
Nenek cuma tersenyum dan bilang, " Tetap dinomor 4 dan terus belajar sejarah."
"Es krimnya mana? ahahahha" Jawabku singkat.
Tapi walaupun aku tidak bertanya mengapa dan tidak membahasnya sama sekali, bukan berarti aku tidak pernah memikirkannya. Nenek sebenarnya mendidik kami cucu-cucunya untuk selalu berpikir bukan menghafal.
Jadi singkat cerita, peringkat 1,2,3 bukanlah yang utama untuk ku raih, sekalipun aku yakin aku mampu meraih peringkat itu.
Namun berbeda dengan kakak dan sepupu yang lain, mereka diharuskan bertahan di 1-3. Belum lagi mereka yang merasa nenek kami pilih kasih. Mereka diwajibkan hafalan setiap malam, sedangkan aku tidak. Sebagai puncak kekesalan mereka, aku dianggap anak paling bodoh digenerasi ini.
Nenek kami melihat bagaimana cucunya ini diperlakukan. Suatu malam, nenek bercerita padaku tentang Nabi Daud dan Sulaiman as, tentang si tukang kebun dan pengembala domba. Sebelum bercerita nenek bertanya apa kira-kira ide Nabi Sulaiman yang diberikan kepada ayahnya untuk menyelesaikan masalah tersebut?
Inti dari pertanyaan nenek bukan tentang apakah aku mampu menjawab atau tidak. Tapi bagaima caraku berpikir.
Kemudian nenek bilang, Adil itu bukan sama rata, Tapi sesuai kebutuhan dan porsi masing-masing. Kakak-kakakmu pandai menghafal dan dari sana mereka mampu memahami kinerja sesuatu, berbeda dengan kamu. Kamu cerdas dengan caramu sendiri.
Kemudian Nenek melanjutkan kisah tentang keturunan-keturunan bani israil. Bagaimana mereka menghancurkan wasiat Ayah mereka, untuk menjaga kerajaan israil. Setelah Sulaiman wafat, kerajaan israil hancur. Mereka saling membunuh saudara mereka sendiri demi tahta.
"Apa arti keturunan sayang?" katanya lirih.
"Apa artinya kecerdasan tanpa pemahaman?" tambahnya lagi.
Nenek tidak pernah bicara secara detil maksud dari kata-katanya. Begitu saja, memancing aku untuk terus bertanya dan bertanya.
Kata mama, Dulu sebelum aku lahir, nenek mengajar ngaji, bahasa arab kadang ibrani. Setelah ku lahir, nenek menghabiskan waktunya diantara buku-buku dan sejadahnya saja, karena faktor lanjut usia. Meskipun kacamatanya menurutku sudah tak layak pakai, masih saja dipakai menemaninya membaca. Kadang aku berbisik pada mama, apa iya nenek masih bisa membaca? Mama menjawab singkat, " Nenek hafal kok!"
"Hah?" Aku tercengang. Selain pintar memasak, menjahit, memahami politik, nenekku ini perempuan kuat. Hidup tanpa suami dan membesarkan ke lima anaknya seorang diri. Sosok yang menjadi panutanku. selalu.
Disisi lain aku memiliki Mbah, Beliau seorang nasrani. Saat liburan kami mengunjunginya di pelosok jawa sana. Waktu itu aku masih 4 SD. Disetiap ruangan terpaku salib. Mbah seorang Nasrani yang relijus, jika berkata suaranya lembut kemayu, cocok menjadi seorang pendongeng. Mbah seorang yang baik dan perhatian, agak berbeda dengan nenek yang tegas. Disana tinggal juga sepupuku, dia yang paling banyak bercerita tentang yesus. Aku diperkenalkan sahabatnya yang sekaligus tetangganya. Selepas diperkenalkan, ia yang waktu itu masih anak-anak juga memelukku dan berkata,
"Asikkk,, ada orang muslim juga. Kita bisa sholat bareng! Kamu tau gak yang tinggal disini semuanya kristen, keluarga aku doang yang muslim."
Aku tersenyum, ini hal baru bagiku. Membuatku berpikir siapa Tuhan yang sebenarnya? Pantas gak sih anak 4SD berpikir seperti ini?
Tapi inilah keluarga kami. Aku simpan perihal siapa Tuhan untuk sementara, aku masih kecil. Walaupun aku selalu memikirkannya. selalu.
Kembali ke masa kini, ke huru-haru didepan TV tadi pagi. Mama nampak senang dengan hasil polling sementara yang dimenangkan jokowi-maruf. Sedangkan bapak, dengan analitisnya yang tinggi agak meragukan. Kami sekeluarga memilih paslon 01 itu.
Kemudian bapak berangkat kerja, dan aku keluar kamar. Berita berganti tentang Maruf yang melakukan pencoblosan di daerah Koja, Jakarta Utara. Sungguh, aku baru tau dia adalah orang sekitar sini, sekitar rumah kami. Kemudian mama nyeletuk,
"Lah, lu gimana masa gak tau? Dia itu dulu murid abah Unus."
Aku mengingat, "Abah Unus? siapalagi?"
"Astagafirullah, ama kakek sendiri u ga kenal! Kakek lu yang itu tuh, suaminya adiknya nenek lu. Abah Unus itu ulama diseganin dijamannya. Lu inget kagak waktu tante lu cerita kalau dia pernah didatengin abah Unus waktu jadi penyanyi di nikahan orang sambil bawa tombak karena ga suka liat anak perempuan satu-satunya pakai pakaian seronok begitu?"
Aku tertawa sambil membayangkan, dan masih tercengang. Perasaan jadi campur aduk seketika, merasa berdosa telah menjadi cucu yang bejat. Kasihan sekali kakek nenek kami, nasabnya jadi hancur memiliki keturunan seperti kami.
Tapi sekarang tanteku berubah menjadi perempuan hebat. Memiliki suami yang cerdas. Walaupun suaminya tersebut sudah meninggal, dan ketika beliau hidup , aku masih sangat kecil. Aku memanggil mereka berdua mama dan papi. Papi lutfi, begitu aku memanggil om ku itu. Beliau seorang pengusaha sukses, meninggalkan harta untuk anak istrinya, tapi yang lebih berbekas menurutku adalah apa yang ia tinggalkan dilemari buku pribadi miliknya.
Yang menarik lagi dari tanteku, ia adalah salah seorang tim sukses Prabowo. Bahkan ia sering berkelakar bahwa yang mampu menggantikan papi lutfi sebagai suami hanyalah Prabowo seorang. Haha...
Seketika aku membayangkan menjadi keponakan Prabowo. ahahaha. Keluarga ini unik. Lahir dari keluarga seperti ini seperti anugerah sekaligus ujian.
Jujur, aku sendiri tak yakin dengan kemenangan Jokowi-Amin. Tapi siapapun yang jadi presiden, Jokowi tetap sosok yang memiliki nilai tersendiri di hatiku. Masih ingat derasnya hujan saat itu, pertama kalinya aku melihat Jokowi sebagai gubernur. Dan tidak ada rakyat disebelahnya. Kuperhatikan, kupastikan itu dia. Benar-benar tidak ada yang sadar itu dia.
Aku tersenyum, sudah sampai situ saja.
Komentar
Posting Komentar