Aku ingin dicintai
Kata orang bijak, Berharap kepada manusia hanya menghasilkan kekecewaan, itu terbukti benar, atau meletakkan ekspektasi terlalu besar kepada seseorang hanya mendatangkan kekecewaan juga terbukti benar.
Namun apa yang dimiliki seorang traumatik jika bukan sebuah harapan? Hanya harapan yang membuat hidupnya lebih sedikit cerah. Pulih dari traumatik butuh waktu yang sangat lama dan proses yang panjang.
Suatu ketika, setelah kejadian itu menimpa. Aku tak pernah mau lagi keluar rumah. Mulutku terbungkam. Aku takut. Aku takut mama marah. Aku takut aku disakiti lagi. Aku takut disekap lagi. Aku takut. takut dan takut. Kejadian yang tak pernah kuceritakan pada siapapun saat itu. Mama, seorang perempuan tegas, yang suka berteriak-teriak jika kesal. Atau melayangkan sapu lidi tepat di pahaku, kadang mencubitnya hingga biru-biru.
Menceritakan apa yang terjadi, seperti menyerahkan diri untuk dipukuli. Jadi kupikir diam. Ku pendam. Penuh takut.
Sejak saat itu aku hanya menonton teman-teman yang bermain dibalik gerbang. Beberapa kali mereka mengajak, aku hanya menggeleng kepala, seakan apa yang ada dibalik gerbang adalah sebuah ancaman, sebuah kengerian, zona yang paling tidak aman.
Pernah mama menyuruhku membeli sesuatu di warung, tapi aku menolak. Kemudian mama marah-marah, aku tetap menolak. Habis badanku sudah. Takut yang dicampur rasa sakit.
Lagi, keesokannya aku disuruh membeli pisang di pasar. Aku takut menolak, Aku lelah dengan rasa sakit. Ku ambil uangnya dan pergi tanpa kata menuju pasar. Aku selalu menunduk saat melangkah, tak berani menatap mata siapapun. Sesampai dipasar, Aku menatap kios pisang dari jauh. Aku takut, penjualnya laki-laki dan banyak, seketika aku merasa lemas, kakiku seperti terlepas, napasku seperti tersendat, langkah kakiku gontai, kemudian berhenti dan berbalik arah, berlari. Entah kemana yang penting lari. Aku menangis, batinku berkata,"Aku gak bisa, membayangkan mereka semua menatapku saja aku tak sanggup, apalagi bilang mau beli pisang."
Aku terdiam dan berpikir. Gak mungkin pulang dengan tangan kosong, tapipun aku gak berani. Kemudian Aku ingat, Ada seorang ibu penjual sayur yang ku kenal. Aku berani bicara dengan perempuan, tapi tidak dengan laki-laki. Ku temui ia di kedainya. Kuminta bantuan darinya, bantuan yang sepele.
Ia mengerutkan kening, "beli tinggal beli, bilang sama abangnya,neng! Kenapa takut?!*
Aku diam. Justru itu yang aku takutkan, entah kenapa aku takut semua laki-laki. Aku takut. Tapi aku hanya diam. Menunduk dan memainkan jemariku yang basah karena keringat. Melihatku tidak merespon, Ibu itu menuju kios pisang dan kembali dengan jinjingan pisang ditangannya. Aku sangat berterima kasih, ku minta padanya untuk tidak menceritakan ini pada mamaku.
Aku pulang. Sepanjang jalan aku menunduk, seakan jalanan adalah zona yang mengerikan. Seakan ada sosok yang selalu mengintaiku. Aku jalan cepat. Sepanjang jalan jantung berdegup. Aku takut.
Tibalah di sebuah persimpangan, Ada segerombolan anak nongkrong didepan masjid, Namun pakain mereka serba hitam dengan dandanan yang agak seram. Ada yang mengenakan anting, tindikan, rambut diwarnai. Tapi aku tidak berani menatap mata mereka. Mereka menghentikanku. Jantungku makin berdegup, aku mau lari. Biarin aku sendiri, batinku. Tapi hanya didalam hati.
"Bagi pisangnya dong! hahahaa" kata seorang dari mereka.
Kemudian air mata mengalir. Tubuhku gemetar ,terus gemetar. Terlihat dari jinjingan yang ku bawa ikut bergetar. Aku merasakan seluruh telapak tangan dan kakiku basah dengan peluh. Napasku mulai berat.
"Udah neng lewat neng, gpp kok. cuma bercanda. gausah nangis!" Kata yang lain lagi sambil tertawa, dan semua ikut tertawa.
Kemudian aku berlari sekencang dan sekuat-kuatnya. Sambil menangis, kala itu air mata tak bisa ku tahan. Sampai ku melihat pagar rumah, aku merasa sedikit lega. Sungguh perjalanan yang melelahkan bagiku, yang padahal bagi orang normal itu hal biasa.
Sesampai dirumah kuserahkan pisang itu. Namun mata sembabku tak bisa kututupi, Ketika ditanya kuceritakan perihal kejadian didepan mesjid itu. Kakakku yang berada bersama mama ikut mendengarkan.
Kemudian respon mereka diluar dugaanku, yang waktu itu hanya seorang anak kecil.
Mereka tertawa.
Sesuatu yang tak kuduga. Aku bercerita sambil menangis, sesekali kejadian traumatis itu muncul dipikiranku ketika aku bercerita membayangkan apa yang terjadi tadi. Mengingat sakitnya. Mengingat teriakanku yang tidak didengar, saat aku disekap.
Tertawa. Semua akan mentertawaiku. Aku hanya seorang anak kecil, dunia luar adalah baru bagiku, tapi aku sudah dilukai dan semua mentertawaiku.
Air mata terus menetes, sampai mereka berhenti tertawa dan merubah ekspresi mereka menjadi diam seketika.
mama bilang menenangkan, sembari menyeka poniku yang berantakan," Mereka cuma bercanda, gausah nangis, kan ga diapa-apain. Tapi kok demam ya?! Neng demam!!"
Kemudian mengeluarkan uang menyuruhku membeli insana. Aku menggeleng, batinku berteriak, "jangan suruh aku keluar lagi aku mohonnnn!!!"
Tapi tatapannya seakan mengancam jika aku menolak. Apa boleh buat, aku lemah. Yang ku perbuat hanya apa yang mampu ku perbuat, menghadapi setidaknya satu dari dua ketakutan yang selalu menghantui ku, ketakutan keluar rumah atau sabetan lidi sang mama.
Bertahun-tahun sampai Aku remaja, ketakutan itu selalu menghantui. Masih saja kubungkam, tak pernah bercerita apa yang pernah terjadi padaku pada siapapun.
Tapi aku melalui semuanya, Buku hanyalah teman yang kupunya dirumah. Teman yang setia disekolah. Perpustakaan tempat yang paling tenang. Aroma kayu dari buku-buku itu adalah aroma yang paling menenangkan. Aroma yang selalu mengingatkanku akan sebuah ruang dirumah, tempat aku dan nenek tidur, tempat nenek berdongeng, shalat, tempat kami menyimpan buku-buku kami.
Buku, adalah satu-satunya obat dimana setelah aku minum, aku seakan masuk kedunia baru. Seakan aku menemukan banyak harapan, pengetahuan yang tak pernah kutau. Sebuah tempat pelarian dari semua ketakutan kekhawatiran yang paling sempurna.
Kemudian aku tumbuh menjadi perempuan yang lebih sedikit berani. Aku membela yang lemah, Aku mempelajari bela diri, tak kan kubiarkan siapapun menyakitiku lagi.
Hingga duduk dibangku SMK, laki-laki adalah hal tabu. Aku selalu menjauh dari mereka, Ada sisi menyenangkannya sekolah SMK meski aku tidak menyukai pelajarannya, yaitu semuanya adalah siswi, tidak ada laki-laki.
Dan perpustakaannya, Hangat. Aku suka. Dari semua sudut sekolah, perpus dan dibawah pohon ceri belakang sekolah adalah 2 tempat favorite. Tempat aku menyendiri, tempat aku isi ulang tenagaku.
Aku tenang untuk beberapa tahun. Hanya beberapa tahun. Sampai semakin aku dewasa, seakan keadaan mendesakku mengenal laki-laki.
Hingga terlibatlah aku secara emosional kepada beberapa laki-laki sampai luka-luka masa laluku terkoyak lagi. Bahkan mereka menambah luka-luka baru. Disini aku sadar, ilmu bela diri sekalipun tak berguna. Mentalku lemah. Aku merasa kalah.
Aku merasa sendiri, kadang beberapa kali aku ceritakan masa laluku pada mereka yang kuanggap sahabat. Tapi, omong kosong. Percuma bercerita, mau sahabat sekalipun mereka hanya mendengar, beberapa hanya penasaran dan tidak ada yang benar-benar peduli.
Sekarang aku simpan semuanya sendiri. Mereka yang menyakitiku, memberi bekas sekaligus menunjukkan bahwa aku sanggup melalui semua sampai saat ini. Harapanku hanya tersisa untuk Tuhan. Sang Maha Mendengar doa, Sang Maha Pemberi kasih sayang. Ku rakit lagi mental lemahku yang bertubi-tubi runtuh, ku bangun lagi meski berkali-kali hancur.
Aku masih dan terus merasa sendiri saat ini, meskipun terkait cincin tunangan dijari manisku. Laki-laki ini belum bisa kupercayai, setelah semua apa yang ia lakukan. Kali ini semua ketakutanku menjadi berkali-kali lipat. Namun ia tak mengerti. Aku tahu, dan hanya menunggunya meninggalkanku. Jika itu yang ia mau.
Kembali kepada harapan, aku ingin melepas semuanya. Aku ingin bebas. Aku harap ia adalah wajah terakhir, tidak ada lagi orang-orang yang sama dalam tubuh yang berbeda.
Aku ingin dicintai, itu saja.
Namun apa yang dimiliki seorang traumatik jika bukan sebuah harapan? Hanya harapan yang membuat hidupnya lebih sedikit cerah. Pulih dari traumatik butuh waktu yang sangat lama dan proses yang panjang.
Suatu ketika, setelah kejadian itu menimpa. Aku tak pernah mau lagi keluar rumah. Mulutku terbungkam. Aku takut. Aku takut mama marah. Aku takut aku disakiti lagi. Aku takut disekap lagi. Aku takut. takut dan takut. Kejadian yang tak pernah kuceritakan pada siapapun saat itu. Mama, seorang perempuan tegas, yang suka berteriak-teriak jika kesal. Atau melayangkan sapu lidi tepat di pahaku, kadang mencubitnya hingga biru-biru.
Menceritakan apa yang terjadi, seperti menyerahkan diri untuk dipukuli. Jadi kupikir diam. Ku pendam. Penuh takut.
Sejak saat itu aku hanya menonton teman-teman yang bermain dibalik gerbang. Beberapa kali mereka mengajak, aku hanya menggeleng kepala, seakan apa yang ada dibalik gerbang adalah sebuah ancaman, sebuah kengerian, zona yang paling tidak aman.
Pernah mama menyuruhku membeli sesuatu di warung, tapi aku menolak. Kemudian mama marah-marah, aku tetap menolak. Habis badanku sudah. Takut yang dicampur rasa sakit.
Lagi, keesokannya aku disuruh membeli pisang di pasar. Aku takut menolak, Aku lelah dengan rasa sakit. Ku ambil uangnya dan pergi tanpa kata menuju pasar. Aku selalu menunduk saat melangkah, tak berani menatap mata siapapun. Sesampai dipasar, Aku menatap kios pisang dari jauh. Aku takut, penjualnya laki-laki dan banyak, seketika aku merasa lemas, kakiku seperti terlepas, napasku seperti tersendat, langkah kakiku gontai, kemudian berhenti dan berbalik arah, berlari. Entah kemana yang penting lari. Aku menangis, batinku berkata,"Aku gak bisa, membayangkan mereka semua menatapku saja aku tak sanggup, apalagi bilang mau beli pisang."
Aku terdiam dan berpikir. Gak mungkin pulang dengan tangan kosong, tapipun aku gak berani. Kemudian Aku ingat, Ada seorang ibu penjual sayur yang ku kenal. Aku berani bicara dengan perempuan, tapi tidak dengan laki-laki. Ku temui ia di kedainya. Kuminta bantuan darinya, bantuan yang sepele.
Ia mengerutkan kening, "beli tinggal beli, bilang sama abangnya,neng! Kenapa takut?!*
Aku diam. Justru itu yang aku takutkan, entah kenapa aku takut semua laki-laki. Aku takut. Tapi aku hanya diam. Menunduk dan memainkan jemariku yang basah karena keringat. Melihatku tidak merespon, Ibu itu menuju kios pisang dan kembali dengan jinjingan pisang ditangannya. Aku sangat berterima kasih, ku minta padanya untuk tidak menceritakan ini pada mamaku.
Aku pulang. Sepanjang jalan aku menunduk, seakan jalanan adalah zona yang mengerikan. Seakan ada sosok yang selalu mengintaiku. Aku jalan cepat. Sepanjang jalan jantung berdegup. Aku takut.
Tibalah di sebuah persimpangan, Ada segerombolan anak nongkrong didepan masjid, Namun pakain mereka serba hitam dengan dandanan yang agak seram. Ada yang mengenakan anting, tindikan, rambut diwarnai. Tapi aku tidak berani menatap mata mereka. Mereka menghentikanku. Jantungku makin berdegup, aku mau lari. Biarin aku sendiri, batinku. Tapi hanya didalam hati.
"Bagi pisangnya dong! hahahaa" kata seorang dari mereka.
Kemudian air mata mengalir. Tubuhku gemetar ,terus gemetar. Terlihat dari jinjingan yang ku bawa ikut bergetar. Aku merasakan seluruh telapak tangan dan kakiku basah dengan peluh. Napasku mulai berat.
"Udah neng lewat neng, gpp kok. cuma bercanda. gausah nangis!" Kata yang lain lagi sambil tertawa, dan semua ikut tertawa.
Kemudian aku berlari sekencang dan sekuat-kuatnya. Sambil menangis, kala itu air mata tak bisa ku tahan. Sampai ku melihat pagar rumah, aku merasa sedikit lega. Sungguh perjalanan yang melelahkan bagiku, yang padahal bagi orang normal itu hal biasa.
Sesampai dirumah kuserahkan pisang itu. Namun mata sembabku tak bisa kututupi, Ketika ditanya kuceritakan perihal kejadian didepan mesjid itu. Kakakku yang berada bersama mama ikut mendengarkan.
Kemudian respon mereka diluar dugaanku, yang waktu itu hanya seorang anak kecil.
Mereka tertawa.
Sesuatu yang tak kuduga. Aku bercerita sambil menangis, sesekali kejadian traumatis itu muncul dipikiranku ketika aku bercerita membayangkan apa yang terjadi tadi. Mengingat sakitnya. Mengingat teriakanku yang tidak didengar, saat aku disekap.
Tertawa. Semua akan mentertawaiku. Aku hanya seorang anak kecil, dunia luar adalah baru bagiku, tapi aku sudah dilukai dan semua mentertawaiku.
Air mata terus menetes, sampai mereka berhenti tertawa dan merubah ekspresi mereka menjadi diam seketika.
mama bilang menenangkan, sembari menyeka poniku yang berantakan," Mereka cuma bercanda, gausah nangis, kan ga diapa-apain. Tapi kok demam ya?! Neng demam!!"
Kemudian mengeluarkan uang menyuruhku membeli insana. Aku menggeleng, batinku berteriak, "jangan suruh aku keluar lagi aku mohonnnn!!!"
Tapi tatapannya seakan mengancam jika aku menolak. Apa boleh buat, aku lemah. Yang ku perbuat hanya apa yang mampu ku perbuat, menghadapi setidaknya satu dari dua ketakutan yang selalu menghantui ku, ketakutan keluar rumah atau sabetan lidi sang mama.
Bertahun-tahun sampai Aku remaja, ketakutan itu selalu menghantui. Masih saja kubungkam, tak pernah bercerita apa yang pernah terjadi padaku pada siapapun.
Tapi aku melalui semuanya, Buku hanyalah teman yang kupunya dirumah. Teman yang setia disekolah. Perpustakaan tempat yang paling tenang. Aroma kayu dari buku-buku itu adalah aroma yang paling menenangkan. Aroma yang selalu mengingatkanku akan sebuah ruang dirumah, tempat aku dan nenek tidur, tempat nenek berdongeng, shalat, tempat kami menyimpan buku-buku kami.
Buku, adalah satu-satunya obat dimana setelah aku minum, aku seakan masuk kedunia baru. Seakan aku menemukan banyak harapan, pengetahuan yang tak pernah kutau. Sebuah tempat pelarian dari semua ketakutan kekhawatiran yang paling sempurna.
Kemudian aku tumbuh menjadi perempuan yang lebih sedikit berani. Aku membela yang lemah, Aku mempelajari bela diri, tak kan kubiarkan siapapun menyakitiku lagi.
Hingga duduk dibangku SMK, laki-laki adalah hal tabu. Aku selalu menjauh dari mereka, Ada sisi menyenangkannya sekolah SMK meski aku tidak menyukai pelajarannya, yaitu semuanya adalah siswi, tidak ada laki-laki.
Dan perpustakaannya, Hangat. Aku suka. Dari semua sudut sekolah, perpus dan dibawah pohon ceri belakang sekolah adalah 2 tempat favorite. Tempat aku menyendiri, tempat aku isi ulang tenagaku.
Aku tenang untuk beberapa tahun. Hanya beberapa tahun. Sampai semakin aku dewasa, seakan keadaan mendesakku mengenal laki-laki.
Hingga terlibatlah aku secara emosional kepada beberapa laki-laki sampai luka-luka masa laluku terkoyak lagi. Bahkan mereka menambah luka-luka baru. Disini aku sadar, ilmu bela diri sekalipun tak berguna. Mentalku lemah. Aku merasa kalah.
Aku merasa sendiri, kadang beberapa kali aku ceritakan masa laluku pada mereka yang kuanggap sahabat. Tapi, omong kosong. Percuma bercerita, mau sahabat sekalipun mereka hanya mendengar, beberapa hanya penasaran dan tidak ada yang benar-benar peduli.
Sekarang aku simpan semuanya sendiri. Mereka yang menyakitiku, memberi bekas sekaligus menunjukkan bahwa aku sanggup melalui semua sampai saat ini. Harapanku hanya tersisa untuk Tuhan. Sang Maha Mendengar doa, Sang Maha Pemberi kasih sayang. Ku rakit lagi mental lemahku yang bertubi-tubi runtuh, ku bangun lagi meski berkali-kali hancur.
Aku masih dan terus merasa sendiri saat ini, meskipun terkait cincin tunangan dijari manisku. Laki-laki ini belum bisa kupercayai, setelah semua apa yang ia lakukan. Kali ini semua ketakutanku menjadi berkali-kali lipat. Namun ia tak mengerti. Aku tahu, dan hanya menunggunya meninggalkanku. Jika itu yang ia mau.
Kembali kepada harapan, aku ingin melepas semuanya. Aku ingin bebas. Aku harap ia adalah wajah terakhir, tidak ada lagi orang-orang yang sama dalam tubuh yang berbeda.
Komentar
Posting Komentar