Tuhan Maha sederhana, Manusia yang bikin ribet.
Semalaman tadi, saya tidak lelap tidur karena berpikir. Seorang teman pernah berkata tentang pentingnya seseorang memelihara kemarahan. Saya sebelumnya tidak berpikir kemarahan akan menjadi perasaan yang bisa kita pertahankan karena saya bukan tipe orang yang mudah mengklaim kembali pendapat yang saya yakini meskipun itu benar. Saya lebih memilih diam, lalu menghindari konflik.
Setelah beberapa kali ngobrol dengan teman saya lagi, ternyata bagi dia marah merupakan alert dalam memperjuangkan sesuatu. Teman saya ini menyimpan dendam kepada sistem pemerintahan di mana sedikit sekali dari orang awam bisa menyadari bahwa mereka sedang diolok-olok oleh pemerintah. Mereka tidak akan tahu bahwa mereka sedang dimiskinkan, dijaga agar stabilitas ekonomi mereka tidak pernah lebih dari apa yang mereka miliki sekarang. Untuk hal ini jargon ignorance is a bliss tidak lagi relevan, sebab ignorance is an act of neglect.
Banyak dari teman saya yang tekun, teguh, dan senatiasa memanusiakan manusia. Mereka adalah teman yang menyenangkan untuk diajak diskusi tentang apa saja. Diskusi itu tidak pernah mencoba mengintimidasi satu sama lain atau menjadi trigger disagreement yang berbuah pertikaian. Sayangnya tak sedikit dari mereka yang ketika pulang ke rumah, sulit makan, menderita insomnia parah, sering marah-marah, sementara kawan terbaik mereka hanya solitude. Ada pula yang memutuskan untuk menjadi yang oportunis, berpikirnya tidak terlalu banyak karena akan mengganggu stabilitas kedudukan mereka di pekerjaan, jobdesk mereka hanya menandatangani dokumen yang tidak perlu tahu apa isinya. Beberapa yang lain berakhir dengan mabuk-mabukan setiap hari sambil berteriak fuck the world.
Tentu saya memahami bahwa setiap orang akan memilih gaya mereka masing-masing dalam menyikapi kenyataan. Namun, dengan latar belakang sosial kita di negara berkembang, jangan pernah menjadi seabai itu. Sebab, konflik yang memicu perang hampir bisa ditemui sehari-hari bahkan dalam sendok makan dan garpu keluarga.
***
Ngomong-ngomong, satu tahun terakhir, ada fenomena baru dalam scene musik di sini. Mereka beramai-ramai meninggalkan musik demi mempelajari Islam secara utuh. Tentu tidak ada yang salah dengan memilih agama apa saja yang sesuai dengan keyakinan personal mereka. Namun akhirnya saya mengetahui bahwa ada sebuah pengaruh baru yang membawa semakin banyak musisi besar meninggalkan band, lantas mengatakan bahwa teman mereka yang masih serius bermusik merupakan orang kafir dengan alasan musik termasuk substansi yang memabukkan. Saya merasa ada sesuatu yang berlebihan tentang pemahaman religiusitas ini.
Dalam sebuah ceramah yang saya tonton (ceramah ini disampaikan oleh seorang ustadz dari organisasi keagamaan yang mempertanyakan kehalalan musik) selama 30 menit dari 2 jam tayangan tersebut kita akan mendapat doktrinasi bahwa umat merupakan budak Tuhan. Dan sebagai budak, kita harus menuruti semua perintah yang telah diatur oleh-Nya, entah perintah tersebut akan sesuai dengan nafsu, logika, dan perasaan kita sebagai manusia atau tidak. Kemudian sebagai umat, kita juga harus mengikuti apa saja yang diperintahkan oleh pemimpin. Selama pengajian berlangsung, tidak ada pertanyaan selayaknya diskusi terbuka. Meskipun begitu, saya menghargai bagaimana mereka telah dapat membuat acara keagamaan tersebut terdengar lebih modern dengan pemilihan istilah yang dekat dengan bahasa anak-anak muda sekarang.
Namun, ada beberapa poin yang saya tidak bisa sepakat dari pengajian ini. Pertama adalah, sebagai umat beragama tentu bisa dikatakan bahwa kita adalah budak Tuhan Yang Maha Esa. Tapi budak seperti apakah kita? Apakah budak yang harus dipecut setiap kali Tuhan menginginkan kita mematuhi perintah-Nya? Ataukah budak yang telah dimerdekakan secara pemikiran oleh Tuhan? Pastilah bila kita ini bukan termasuk kaum yang dimerdekakan secara perasaan dan pikiran oleh Tuhan. Ketika kita mempertanyakan budak seperti apakah kita ke hadapan seorang ustadz atau langsung kepada-Nya, kita akan langsung dikutuk kemudian masuk neraka. Namun, tidak begitu bukan? Tuhan tidak ingin manusia bekerja dengan cara seperti itu sebab Dia bijaksana. Tuhan Yang Maha Segalanya termasuk Maha Ibu dan Bapak kita, tidak ingin manusia sebagai anak-anaknya kehilangan nurani mereka hanya untuk ambisi meratakan sebuah daerah atau negara dengan ide Islam.
Yang kedua, terdapat poin dalam pengajian yang menyebutkan apabila musik itu halal, lalu mengapa Nabi Muhammad tidak menempuh jalur yang sama atau mengapa Nabi tidak bermusik juga? Hal itu mungkin bisa kita telaah kembali dengan melakukan perbandingan. Jika Nabi saat itu menyampaikan ide tentang Islam, yang notabene sebagai agama baru, dengan cara bermusik di hadapan masyarakat (dan bukan memilih sastra), pastilah agama yang ia dakwahkan tidak mampu bertahan hingga kini.
Membandingkan apa yang dilakukan Nabi saat itu dengan apa yang dihasilkan musik sekarang rasanya sungguh tidak relevan. Apalagi dengan isu pembakaran alat musik sebagai media kampanye aliran religius tertentu agar para musisi mau bertaubat. Mengapa dari sekian banyak jalan menuju spiritualitas yang mendamaikan mereka lebih memilih jalan perang? Agak mengecewakan ketika figur Tuhan menjelma sebagai tiran, tak ubahnya sosok impoten yang tak kuasa menjadikan manusia berada di jalan yang satu, jalan yang damai. Apakah Tuhan ini yang menginginkan kita sebagai budak mengakui-Nya dengan imbalan surga kelak setelah kita membunuh anak-anak kafir dan memecah belah kaum kita sendiri hanya karena mempertanyakan Tuhan seperti apakah yang sedang kita sembah? Yang harus kita perhatikan lagi adalah tidak semua reaksi ini seluruhnya datang dari atheis atau religious haters.
Banyak kaum atheis yang ikut menyayangkan sikap lembaga religi yang justru bertendensi menjadi destruktif. Dan hal tersebut menjadi PR kita semua, bagaimana orang lain melihat agama yang kita anut. Sebagai umat beragama apapun, ketika ada segolongan kaum yang menjadikan Tuhan mereka sebagai tameng kelemahan, kita harus mengakui bahwa hal tersebut adalah penyakit umat. Kita harus mengakuinya sebab yang berperang di luar sana adalah kawan kita. Mereka memakai atribut kita, menyembah Tuhan yang sama, mengamini doa yang sama, dan ini bukan lagi akal-akalan negara lain.
Meskipun agama merupakan hal paling personal yang dimiliki oleh manusia dan kita tidak pernah bisa menghalau kelahiran sebuah pemikiran, namun kita bisa membedakan hasil eksekusi ideologi tersebut. Apabila dengan nama agama dia merugikan kaum dengan keyakinan lain, maka harus ada golongan yang menyeimbangkan pemikiran tersebut lewat hal sederhana seperti saling berdiskusi. Tidak akan ada waktu untuk laziness dan insecurity – merasa malas dan malu untuk mencari solusinya tetapi berteriak paling kencang ketika terjadi pemukulan. Kita tidak bisa seperti itu lagi sebab semua harus saling berpikir, saling bertukar ide dan mengevaluasinya.
Selain itu, Bismillahirahmanirahim seperti kita tahu merupakan kalimat pembuka dari segala kegiatan yang akan dilakukan oleh umat Muslim memiliki arti “dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Tidakkah ketika kita saling bunuh dan mengkafirkan kaum lain, justru mencederai arti Bismillahirahmanirahim? Tidakkah kita malu kepada Nabi yang ketika beliau diludahi tidak pernah sekalipun membalasnya dengan ludah? Tidakkah kita malu ketika gagal menerjemahkan kitab sebagai buku puisi yang indah?
Sesungguhnya Tuhan itu Maha Sederhana, Tuhan membuat segala hal masuk akal dan mudah.
Mari kembali lagi ke fenomena taubatnya musisi yang belakangan banyak terjadi. Di seluruh dunia, tetap ada banyak musisi yang bertanggung jawab pada keluarganya, menafkahi istri dan anak-anak lewat penghasilannya sebagai seorang musisi, memainkan musik yang tidak membuat orang lain merasa rugi, tidak mengurangi sikapnya dalam memanusiakan manusia, menyayangi makhluk hidup lain, menyampaikan pesan yang baik dalam lagunya, bahkan yang paling jelas tidak suka mabuk-mabukkan. Poin apakah yang kiranya membuat teman-teman kita ini sebagai golongan yang layak mendapat predikat kafir?
Ketika pemimpinmu mengatakan bahwa sebuah golongan dicap kafir karena ia bermusik, apakah kalian tidak malu terus terbelenggu dalam kebencian sendiri terhadap para musisi. Apakah kalian berambisi untuk membakar alat musik mereka, sedangkan mereka kawan lamamu, kau mengetahui betul betapa mereka telah menempuh jalan terburuk dan terbaik, tapi kini kalian membiarkan nuranimu dikuasai oleh setan yang dapat menjelma apa saja termasuk, kerakusan dalam nama agama kalian sendiri?
Tuhan adalah nurani kita. Dengan dirinyalah kita mengasihi anak-anak tanpa harus mengetahui mereka lahir dari golongan apa. Dengan dirinyalah kita memberi makan kaum yang kelaparan, tanpa harus memilih ke tangan beragama apakah nasi ini akan diterima. Lapar itu nyata teman, seperti halnya Tuhan dalam nurani yang ingin kita membantu mereka.
***
Musik/seni/budaya tidak memiliki hubungan apapun dengan perubahan buruk seorang individu. Semua hal yang berpotensi berlebihan tersebut akan ditentukan oleh manusianya sendiri, bahkan ketika kamu mengaku sangat religius tetapi suka pamer dan bodoh, maka rasanya tidak bermanfaat banyak kamu beragama. Orang-orang yang saya tahu dan memutuskan untuk hidup lewat musik pun, banyak dari mereka adalah orang yang wajar-wajar saja. Mereka tidak pernah menghasut saya untuk menyembah tuhan ideal pilihan mereka apalagi mengajarkan saya untuk berbuat jahat. Sehingga saya pikir, kepercayaan tidak perlu dipaksakan apalagi dengan doktrin memalukan yang berkata bahwa manusia adalah budak. Yang terakhir, kenyataan bahwa musik itu haram tidak pernah saya temui dalam keluarga-keluarga Islam yang saya kenal.
(P.s : Tulisan ini gelisahnya kemana-mana, tapi ah biarlah toh umur 22 tidak terjadi 2 kali)
Salam!
Words: Annisa Rizkiana Rahmasari
***
Tulisan Annisa ini mewakili perasaan saya yang paling dalam tentang Islam.
Setelah beberapa kali ngobrol dengan teman saya lagi, ternyata bagi dia marah merupakan alert dalam memperjuangkan sesuatu. Teman saya ini menyimpan dendam kepada sistem pemerintahan di mana sedikit sekali dari orang awam bisa menyadari bahwa mereka sedang diolok-olok oleh pemerintah. Mereka tidak akan tahu bahwa mereka sedang dimiskinkan, dijaga agar stabilitas ekonomi mereka tidak pernah lebih dari apa yang mereka miliki sekarang. Untuk hal ini jargon ignorance is a bliss tidak lagi relevan, sebab ignorance is an act of neglect.
Banyak dari teman saya yang tekun, teguh, dan senatiasa memanusiakan manusia. Mereka adalah teman yang menyenangkan untuk diajak diskusi tentang apa saja. Diskusi itu tidak pernah mencoba mengintimidasi satu sama lain atau menjadi trigger disagreement yang berbuah pertikaian. Sayangnya tak sedikit dari mereka yang ketika pulang ke rumah, sulit makan, menderita insomnia parah, sering marah-marah, sementara kawan terbaik mereka hanya solitude. Ada pula yang memutuskan untuk menjadi yang oportunis, berpikirnya tidak terlalu banyak karena akan mengganggu stabilitas kedudukan mereka di pekerjaan, jobdesk mereka hanya menandatangani dokumen yang tidak perlu tahu apa isinya. Beberapa yang lain berakhir dengan mabuk-mabukan setiap hari sambil berteriak fuck the world.
Tentu saya memahami bahwa setiap orang akan memilih gaya mereka masing-masing dalam menyikapi kenyataan. Namun, dengan latar belakang sosial kita di negara berkembang, jangan pernah menjadi seabai itu. Sebab, konflik yang memicu perang hampir bisa ditemui sehari-hari bahkan dalam sendok makan dan garpu keluarga.
***
Ngomong-ngomong, satu tahun terakhir, ada fenomena baru dalam scene musik di sini. Mereka beramai-ramai meninggalkan musik demi mempelajari Islam secara utuh. Tentu tidak ada yang salah dengan memilih agama apa saja yang sesuai dengan keyakinan personal mereka. Namun akhirnya saya mengetahui bahwa ada sebuah pengaruh baru yang membawa semakin banyak musisi besar meninggalkan band, lantas mengatakan bahwa teman mereka yang masih serius bermusik merupakan orang kafir dengan alasan musik termasuk substansi yang memabukkan. Saya merasa ada sesuatu yang berlebihan tentang pemahaman religiusitas ini.
Dalam sebuah ceramah yang saya tonton (ceramah ini disampaikan oleh seorang ustadz dari organisasi keagamaan yang mempertanyakan kehalalan musik) selama 30 menit dari 2 jam tayangan tersebut kita akan mendapat doktrinasi bahwa umat merupakan budak Tuhan. Dan sebagai budak, kita harus menuruti semua perintah yang telah diatur oleh-Nya, entah perintah tersebut akan sesuai dengan nafsu, logika, dan perasaan kita sebagai manusia atau tidak. Kemudian sebagai umat, kita juga harus mengikuti apa saja yang diperintahkan oleh pemimpin. Selama pengajian berlangsung, tidak ada pertanyaan selayaknya diskusi terbuka. Meskipun begitu, saya menghargai bagaimana mereka telah dapat membuat acara keagamaan tersebut terdengar lebih modern dengan pemilihan istilah yang dekat dengan bahasa anak-anak muda sekarang.
Namun, ada beberapa poin yang saya tidak bisa sepakat dari pengajian ini. Pertama adalah, sebagai umat beragama tentu bisa dikatakan bahwa kita adalah budak Tuhan Yang Maha Esa. Tapi budak seperti apakah kita? Apakah budak yang harus dipecut setiap kali Tuhan menginginkan kita mematuhi perintah-Nya? Ataukah budak yang telah dimerdekakan secara pemikiran oleh Tuhan? Pastilah bila kita ini bukan termasuk kaum yang dimerdekakan secara perasaan dan pikiran oleh Tuhan. Ketika kita mempertanyakan budak seperti apakah kita ke hadapan seorang ustadz atau langsung kepada-Nya, kita akan langsung dikutuk kemudian masuk neraka. Namun, tidak begitu bukan? Tuhan tidak ingin manusia bekerja dengan cara seperti itu sebab Dia bijaksana. Tuhan Yang Maha Segalanya termasuk Maha Ibu dan Bapak kita, tidak ingin manusia sebagai anak-anaknya kehilangan nurani mereka hanya untuk ambisi meratakan sebuah daerah atau negara dengan ide Islam.
Yang kedua, terdapat poin dalam pengajian yang menyebutkan apabila musik itu halal, lalu mengapa Nabi Muhammad tidak menempuh jalur yang sama atau mengapa Nabi tidak bermusik juga? Hal itu mungkin bisa kita telaah kembali dengan melakukan perbandingan. Jika Nabi saat itu menyampaikan ide tentang Islam, yang notabene sebagai agama baru, dengan cara bermusik di hadapan masyarakat (dan bukan memilih sastra), pastilah agama yang ia dakwahkan tidak mampu bertahan hingga kini.
Membandingkan apa yang dilakukan Nabi saat itu dengan apa yang dihasilkan musik sekarang rasanya sungguh tidak relevan. Apalagi dengan isu pembakaran alat musik sebagai media kampanye aliran religius tertentu agar para musisi mau bertaubat. Mengapa dari sekian banyak jalan menuju spiritualitas yang mendamaikan mereka lebih memilih jalan perang? Agak mengecewakan ketika figur Tuhan menjelma sebagai tiran, tak ubahnya sosok impoten yang tak kuasa menjadikan manusia berada di jalan yang satu, jalan yang damai. Apakah Tuhan ini yang menginginkan kita sebagai budak mengakui-Nya dengan imbalan surga kelak setelah kita membunuh anak-anak kafir dan memecah belah kaum kita sendiri hanya karena mempertanyakan Tuhan seperti apakah yang sedang kita sembah? Yang harus kita perhatikan lagi adalah tidak semua reaksi ini seluruhnya datang dari atheis atau religious haters.
Banyak kaum atheis yang ikut menyayangkan sikap lembaga religi yang justru bertendensi menjadi destruktif. Dan hal tersebut menjadi PR kita semua, bagaimana orang lain melihat agama yang kita anut. Sebagai umat beragama apapun, ketika ada segolongan kaum yang menjadikan Tuhan mereka sebagai tameng kelemahan, kita harus mengakui bahwa hal tersebut adalah penyakit umat. Kita harus mengakuinya sebab yang berperang di luar sana adalah kawan kita. Mereka memakai atribut kita, menyembah Tuhan yang sama, mengamini doa yang sama, dan ini bukan lagi akal-akalan negara lain.
Meskipun agama merupakan hal paling personal yang dimiliki oleh manusia dan kita tidak pernah bisa menghalau kelahiran sebuah pemikiran, namun kita bisa membedakan hasil eksekusi ideologi tersebut. Apabila dengan nama agama dia merugikan kaum dengan keyakinan lain, maka harus ada golongan yang menyeimbangkan pemikiran tersebut lewat hal sederhana seperti saling berdiskusi. Tidak akan ada waktu untuk laziness dan insecurity – merasa malas dan malu untuk mencari solusinya tetapi berteriak paling kencang ketika terjadi pemukulan. Kita tidak bisa seperti itu lagi sebab semua harus saling berpikir, saling bertukar ide dan mengevaluasinya.
Selain itu, Bismillahirahmanirahim seperti kita tahu merupakan kalimat pembuka dari segala kegiatan yang akan dilakukan oleh umat Muslim memiliki arti “dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Tidakkah ketika kita saling bunuh dan mengkafirkan kaum lain, justru mencederai arti Bismillahirahmanirahim? Tidakkah kita malu kepada Nabi yang ketika beliau diludahi tidak pernah sekalipun membalasnya dengan ludah? Tidakkah kita malu ketika gagal menerjemahkan kitab sebagai buku puisi yang indah?
Sesungguhnya Tuhan itu Maha Sederhana, Tuhan membuat segala hal masuk akal dan mudah.
Mari kembali lagi ke fenomena taubatnya musisi yang belakangan banyak terjadi. Di seluruh dunia, tetap ada banyak musisi yang bertanggung jawab pada keluarganya, menafkahi istri dan anak-anak lewat penghasilannya sebagai seorang musisi, memainkan musik yang tidak membuat orang lain merasa rugi, tidak mengurangi sikapnya dalam memanusiakan manusia, menyayangi makhluk hidup lain, menyampaikan pesan yang baik dalam lagunya, bahkan yang paling jelas tidak suka mabuk-mabukkan. Poin apakah yang kiranya membuat teman-teman kita ini sebagai golongan yang layak mendapat predikat kafir?
Ketika pemimpinmu mengatakan bahwa sebuah golongan dicap kafir karena ia bermusik, apakah kalian tidak malu terus terbelenggu dalam kebencian sendiri terhadap para musisi. Apakah kalian berambisi untuk membakar alat musik mereka, sedangkan mereka kawan lamamu, kau mengetahui betul betapa mereka telah menempuh jalan terburuk dan terbaik, tapi kini kalian membiarkan nuranimu dikuasai oleh setan yang dapat menjelma apa saja termasuk, kerakusan dalam nama agama kalian sendiri?
Tuhan adalah nurani kita. Dengan dirinyalah kita mengasihi anak-anak tanpa harus mengetahui mereka lahir dari golongan apa. Dengan dirinyalah kita memberi makan kaum yang kelaparan, tanpa harus memilih ke tangan beragama apakah nasi ini akan diterima. Lapar itu nyata teman, seperti halnya Tuhan dalam nurani yang ingin kita membantu mereka.
***
Musik/seni/budaya tidak memiliki hubungan apapun dengan perubahan buruk seorang individu. Semua hal yang berpotensi berlebihan tersebut akan ditentukan oleh manusianya sendiri, bahkan ketika kamu mengaku sangat religius tetapi suka pamer dan bodoh, maka rasanya tidak bermanfaat banyak kamu beragama. Orang-orang yang saya tahu dan memutuskan untuk hidup lewat musik pun, banyak dari mereka adalah orang yang wajar-wajar saja. Mereka tidak pernah menghasut saya untuk menyembah tuhan ideal pilihan mereka apalagi mengajarkan saya untuk berbuat jahat. Sehingga saya pikir, kepercayaan tidak perlu dipaksakan apalagi dengan doktrin memalukan yang berkata bahwa manusia adalah budak. Yang terakhir, kenyataan bahwa musik itu haram tidak pernah saya temui dalam keluarga-keluarga Islam yang saya kenal.
(P.s : Tulisan ini gelisahnya kemana-mana, tapi ah biarlah toh umur 22 tidak terjadi 2 kali)
Salam!
Words: Annisa Rizkiana Rahmasari
***
Tulisan Annisa ini mewakili perasaan saya yang paling dalam tentang Islam.
Komentar
Posting Komentar